Dusun Randurejo
Pada
zaman dahulu kala hiduplah seorang pangeran rupawan dari kerajaan kediri. Ia
memliki hobi berburu rusa di hutan. Suatu hari ketika sang pangeran sedang
mengejar rusa ke dalam hutan, ia berpapasan dengan seorang perempuan yang
cantik jelita. Sejenak sang pangeran terpesona akan kecantikan paras putri
tersebut. Perempuan tersebut bernama Ronggowati, yang ternyata adalah seorang
putri dari kerajaan setempat. Hutan tempat pangeran berburu tersebut merupakan
wilayah kerajaan putri Ronggowati.
Dalam
pertemuan singkat tersebut, mereka pun saling jatuh hati. Mereka kemudian
memutuskan untuk menikah dan hidup bersama. Dari buah cinta mereka, dikaruniai
tiga anak perempuan yang bernama Sani, Cilung, dan Sirep. Mereka hidup bersama
dengan bahagia. Akan tetapi, ketika menginjak dewasa mereka memutuskan untuk
berpisah dan mencari tempat tinggal sendiri-sendiri. Sani pergi ke Randurejo,
Cilung ke Randuwates, dan Sirep di Karang Ploso.
Beberapa
tahun kemudian, Sani yang merupakan anak sulung dari putri Ronggowati semakin
tumbuh dewasa. Dia gemar sekali bertapa dan sering berpindah dari satu tempat
ke tempat yang lainnya mencari tempat bertapa.
Suatu
hari, ketika ia singgah dan akan melakukan pertapaan di hutan yang dipenuhi
oleh pohon randu, ia mendapat wangsit dan petunjuk untuk menebang dan membabat
hutan randu tersebut. Sani pun dengan mudahnya mampu membabat habis pohon-pohon
randu tersebut menggunakan ilmu kesaktiannya yaitu Anjankumayan.
Setelah
membuka hutan, Sani juga membuat sebuah sumur yang nantinya dijadikan tanda
bahwa ia merupakan orang pertama yang membuka hutan tersebut dan juga berfungsi
sebagai sumber kehidupan bagi masyarakat sekitar nantinya. Pada akhirnya, Sani
memutuskan untuk memberi nama daerah tersebut dengan sebutan “Randurejo”.
Randurejo sendiri merupakan dua kata dari bahasa jawa. Randu berarti pohon
randu sedangkan Rejo memiliki makna Ramai.
Sani
lalu mewariskan wilayah tersebut kepada keturunan dan generasi-generasi
berikutnya untuk menjaga dan meneruskan apa yang telah ia lakukan sebelumnya.
Dusun Randuwates
Alkisah
pada zaman kerajaan Majapahit hiduplah seorang wanita yang terkenal akan
kesaktiannya. Wanita tersebut bernama Cilung. Dia berasal dari suatu daerah
yang bernama Legundi Wetan, ia merupakan saudara kandung dari Sani. Sama halnya
dengan sebagian besar pendekar pada zaman dahulu, Cilung suka mengembara dan
bertapa. Ia suka berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya.
Suatu
ketika dalam perjalanannya Cilung terhenti di sebuah hutan yang ditumbuhi oleh
banyak pohon randu. Setelah berpikir sejenak, ia merasa tempat tersebut cocok
untuk melakukan pertapaan dan pada akhirnya memutuskan untuk singgah dan
mendirikan tempat tinggal di hutan tersebut.
Satu persatu pohon randu mulai ditebang untuk
dijadikan tempat tinggal. Hal penting kedua setelah mendirikan tempat tinggal
adalah menemukan sumber air. Cilung lalu membuat sebuah sumur yang kemudian
menjadi sumber air pertama di wilayah tersebut.
Cilung
hidup dengan damai dengan banyak melakukan pertapaan yang bertujuan untuk
mendekatkan diri dengan Yang Maha Kuasa. Menurutnya ketenangan hati dan
kedamaian jiwa hanya bisa dicapai ketika kita dekat dengan Yang Maha Kuasa.
Hingga
suatu ketika pertapaannya terusik oleh rintihan orang yang kesakitan di dekat
tempatnya bertapa. Cilung lalu menghampirinya untuk menolong dan mencoba
menggunakan kesaktian yang ia miliki untuk menyembuhkan penyakit yang diderita
orang tersebut. Tanpa disangka ternyata Cilung mampu mengobati orang tersebut
dengan sekejap mata.
Alhasil
setelah peristiwa tersebut banyak orang dari berbagai daerah datang
berbondong-bondong untuk meminta pertolongan mengobati penyakit yang mereka
derita. Bahkan tak sedikit dari mereka ingin menimba ilmu dan berguru kepada
Cilung, sehingga tak membutuhkan waktu lama bagi Cilung untuk mempunyai banyak
murid. Dengan bantuan murid-muridnya Cilung membuat sebuah perkampungan di
wilayah tersebut. Semua pohon randu mereka babat habis. Dan akhirnya Cilung
memberi nama kampung tersebut “Randuwates”.
Kehidupan
Cilung di Randuwates berjalan dengan damai dan bahagia hingga suatu ketika ia
bertemu dengan seorang pria tampan yang mampu meluluhkan hatinya. Ulam dicinta
pucukpun tiba, sang pria tersebut juga jatuh cinta pada Cilung. Mereka kemudian
memutuskan untuk tinggal dan hidup bersama di desa Randuwates.
Cilung
lalu mewariskan desa Randuwates pada anak turun dan generasi selanjutnya. Untuk
menghormati, menghargai dan mengenang jasa Cilung sebagai leluhur Randuwates,
sering diadakan ritual di sumur peninggalannya. Hal ini juga bertujuan untuk
mengingatkan para peziarah akan sosok pembuka hutan atau pendiri desa
Randuwates dulu.
Dusun Balongjati
Pada
zaman dahulu kala hiduplah dua orang wanita yang memiliki peran penting dalam
mendirikan suatu daerah. Mereka adalah Sartinah dan Manggar. Sartinah merupakan
sosok wanita yang berparas cantik dan baik hati pendiri Jatisari, sedangkan
Manggar yang terkenal akan sosoknya yang jahat adalah pendiri Balonglengis.
Sesungguhnya sewaktu kecil mereka adalah sahabat yang sangat dekat dan akrab.
Namun ketika mereka beranjak dewasa persahabatan mereka mulai memudar siring
dengan pembagian wilayah kekuasaan yang mereka terima.
Kedua
wanita tersebut pada mulanya secara bersama-sama membuka dan membabat hutan
jati yang akan mereka jadikan tempat tinggal, mereka lalu membagi hutan jati
tersebut menjadi dua wilayah. Setelah melakukan pembagian, mereka kemudian
membuat sumur di masing-masing daerah yang telah dibagi tersebut sebagai sumber
kehidupan masyarakat sekitar nantinya.
Dikarenakan
memang sifat Manggar yang jahat, dia berniat menguasai seluruh wilayah yang
telah mereka buka termasuk wilayah bagian Sartinah. Sartinah yang memang baik
hati tidak menginginkan terjadinya perpecahan dengan sahabatnya sendiri. Mereka
memutuskan untuk hidup dengan cara mereka sendiri dan bersepakat untuk tidak saling
bertemu satu sama lain. Sehingga untuk menyiasati hal tersebut dengan segala
ilmu yang dimilikinya Sartinah membuat baringan sebagai batas antara wilayah
Jatisari yang dimiliki oleh Sartinah dan Balonglengis yang dimiliki oleh
Manggar.
Beberapa
abad kemudian, lahirlah seorang sosok pemimpin besar yang tampan, berwibawa dan
bijaksana dari Randurejo. Pemimpin tersebut bernama R.M. Kertoaji. Ia adalah
seorang pemimpin yang sangat disegani rakyatnya, sehingga tidak ada seorangpun
yang berani membantah perintah sang pemimpin ini. R.M. Kertoaji sendiri
menginginkan perdamaian kedua wilayah tersebut, sehingga barongan lebat yang
menjadi penghalang dan batas wilyah antara Jatisari dan Balonglengis ditebang
dan dibabat habis. Kemudian dijadikan satu wilayah yang diberi nama
“Balongjati”.
Dusun Jati Babah
Tersebutlah
ada seorang pengembara sakti mandra guna yang sedang melakukan perjalanan untuk
mencari jati dirinya. Dia bernama Singo Glodok. Singo sendiri dalam bahasa
Indonesia berarti Singa sedangkan Glodok adalah petir. Petir merupakan senjata
pamungkasnya sedangkan bagai Bima
dengan Gada Rujak Polonya.
Dengan kesaktian
yang di milikinya, dia mampu berpindah dari suatu tempat ketempat lainnya
dengan sangat mudah dan cepat. Oleh karena itu, dia memilih untuk hidup
berpindah-pindah selain untuk mencari jati dirinya juga untuk memahami arti dari
kehidupan.
Suatu
ketika, Singo singgah disebuah hutan yang dipenuhi oleh pohon jati. Ditengah
perjalanan dia menjumpai seorang wanita yang yang cantik akan parasnya dan
dengan seketika membuat Singo Glodok jatuh hati padanya. Wanita tersebut
bernama Nyai Dayang. Bagai gayung bersambut, sang Dayang pun juga terkesima
akan sosok Singo Glodok ini, sehingga mereka memutuskan untuk hidup bersama.
Dengan
kesaktian dan segala ilmu yang dimilikinya mereka mulai menebang satu-persatu
pohon jati dihutan tersebut. Hanya dengan waktu yang singkat mereka mampu
membuka alas yang dulunya rimbun akan pohon jati menjadi tempat yang layak
untuk ditempati. Dari sinilah asal mula nama Jati Babah diambil untuk kemudian
dijadikan nama sebuah dusun disuatu daerah di kecamatan Kemlagi kabupaten
Mojokerto. Jati berarti pohon jati, sedangkan Babah adalah babat atau membabat.
Suatu
ketika terjadi perdebatan yang sengit antara Singo dan Glodok dengan sang
istri. Entah apa yang diperdebatkan, perdebatan tersebut kian lama kian memanas
yang mengharuskan kedua pasangan ini untuk berpisah. Singo Glodok dengan berat
hati dan persaan sedih akhirnya memutuskan untuk meninggalkan istrinya.
Singo
pergi untuk bersemedi, mendekat pada Yang Maha Kuasa di gunung Pucangan di
daerah Jombang. Dalam semedinya, Singo memohon agar dikuatkan dalam semedinya
hingga akhir hayatnya. Sementara itu, sang istri memutuskan untuk melanjutkan
kehidupannya di desa yang telah mereka dirikan sebelumnya.
Desa
Mojowatesrejo
Didalam
desa Mojowatesrejo sendiri terdapat empat dusun, yaitu dusun Randu Rejo, Randu
Wates, Balongjati, Jatibabah. Keempat dusun tersebut memiliki sejarah yang
berbeda-beda yang pada awalnya terpisah dan juga memiliki leluhur masing-masing
yang berperan penting dalam terbentuknya keempat dusun tersebut.
Hasil
dari musyawarah tersebut adalah mereka bersepakat untuk menyatukan keempat desa
tersebut menjadi satu desa yang lalu mereka beri nama desa Mojowatesrejo. Kata
Mojowatesrejo sendiri berasal dari tiga gabungan kata bahasa jawa kata Mojo
berarti buah Mojo. Wates adalah perbatasan sedangkan Rejo memiliki arti ramai.
Alasan
mereka menamai desa tersebut dengan nama mojowatesrejo dikarenakan keempat
dusun yang sudah dipersatukan menjadi satu desa tersebut merupakan perabatasan
antara Mojokerto dengan Jombang. Desa Mojowatesrejo sendiri pertama kali
dipimpin oleh R.M Kertoaji yang awalnya merupakan Lurah desa Randurejo. Pada
akhirnya desa mojowatesrejo memiliki masyarakat yang hidup rukun, damai dan
sejahtera hingga sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar