Pages

Kamis, 17 September 2015

Asal Usul Desa



Dusun Randurejo

Pada zaman dahulu kala hiduplah seorang pangeran rupawan dari kerajaan kediri. Ia memliki hobi berburu rusa di hutan. Suatu hari ketika sang pangeran sedang mengejar rusa ke dalam hutan, ia berpapasan dengan seorang perempuan yang cantik jelita. Sejenak sang pangeran terpesona akan kecantikan paras putri tersebut. Perempuan tersebut bernama Ronggowati, yang ternyata adalah seorang putri dari kerajaan setempat. Hutan tempat pangeran berburu tersebut merupakan wilayah kerajaan putri Ronggowati.

Dalam pertemuan singkat tersebut, mereka pun saling jatuh hati. Mereka kemudian memutuskan untuk menikah dan hidup bersama. Dari buah cinta mereka, dikaruniai tiga anak perempuan yang bernama Sani, Cilung, dan Sirep. Mereka hidup bersama dengan bahagia. Akan tetapi, ketika menginjak dewasa mereka memutuskan untuk berpisah dan mencari tempat tinggal sendiri-sendiri. Sani pergi ke Randurejo, Cilung ke Randuwates, dan Sirep di Karang Ploso.
Beberapa tahun kemudian, Sani yang merupakan anak sulung dari putri Ronggowati semakin tumbuh dewasa. Dia gemar sekali bertapa dan sering berpindah dari satu tempat ke tempat yang lainnya mencari tempat bertapa.
Suatu hari, ketika ia singgah dan akan melakukan pertapaan di hutan yang dipenuhi oleh pohon randu, ia mendapat wangsit dan petunjuk untuk menebang dan membabat hutan randu tersebut. Sani pun dengan mudahnya mampu membabat habis pohon-pohon randu tersebut menggunakan ilmu kesaktiannya yaitu Anjankumayan.
Setelah membuka hutan, Sani juga membuat sebuah sumur yang nantinya dijadikan tanda bahwa ia merupakan orang pertama yang membuka hutan tersebut dan juga berfungsi sebagai sumber kehidupan bagi masyarakat sekitar nantinya. Pada akhirnya, Sani memutuskan untuk memberi nama daerah tersebut dengan sebutan “Randurejo”. Randurejo sendiri merupakan dua kata dari bahasa jawa. Randu berarti pohon randu sedangkan Rejo memiliki makna Ramai.
Sani lalu mewariskan wilayah tersebut kepada keturunan dan generasi-generasi berikutnya untuk menjaga dan meneruskan apa yang telah ia lakukan sebelumnya.

Dusun Randuwates


Alkisah pada zaman kerajaan Majapahit hiduplah seorang wanita yang terkenal akan kesaktiannya. Wanita tersebut bernama Cilung. Dia berasal dari suatu daerah yang bernama Legundi Wetan, ia merupakan saudara kandung dari Sani. Sama halnya dengan sebagian besar pendekar pada zaman dahulu, Cilung suka mengembara dan bertapa. Ia suka berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya.
Suatu ketika dalam perjalanannya Cilung terhenti di sebuah hutan yang ditumbuhi oleh banyak pohon randu. Setelah berpikir sejenak, ia merasa tempat tersebut cocok untuk melakukan pertapaan dan pada akhirnya memutuskan untuk singgah dan mendirikan tempat tinggal di hutan tersebut.
 Satu persatu pohon randu mulai ditebang untuk dijadikan tempat tinggal. Hal penting kedua setelah mendirikan tempat tinggal adalah menemukan sumber air. Cilung lalu membuat sebuah sumur yang kemudian menjadi sumber air pertama di wilayah tersebut.
Cilung hidup dengan damai dengan banyak melakukan pertapaan yang bertujuan untuk mendekatkan diri dengan Yang Maha Kuasa. Menurutnya ketenangan hati dan kedamaian jiwa hanya bisa dicapai ketika kita dekat dengan Yang Maha Kuasa.
Hingga suatu ketika pertapaannya terusik oleh rintihan orang yang kesakitan di dekat tempatnya bertapa. Cilung lalu menghampirinya untuk menolong dan mencoba menggunakan kesaktian yang ia miliki untuk menyembuhkan penyakit yang diderita orang tersebut. Tanpa disangka ternyata Cilung mampu mengobati orang tersebut dengan sekejap mata.
Alhasil setelah peristiwa tersebut banyak orang dari berbagai daerah datang berbondong-bondong untuk meminta pertolongan mengobati penyakit yang mereka derita. Bahkan tak sedikit dari mereka ingin menimba ilmu dan berguru kepada Cilung, sehingga tak membutuhkan waktu lama bagi Cilung untuk mempunyai banyak murid. Dengan bantuan murid-muridnya Cilung membuat sebuah perkampungan di wilayah tersebut. Semua pohon randu mereka babat habis. Dan akhirnya Cilung memberi nama kampung tersebut “Randuwates”.
Kehidupan Cilung di Randuwates berjalan dengan damai dan bahagia hingga suatu ketika ia bertemu dengan seorang pria tampan yang mampu meluluhkan hatinya. Ulam dicinta pucukpun tiba, sang pria tersebut juga jatuh cinta pada Cilung. Mereka kemudian memutuskan untuk tinggal dan hidup bersama di desa Randuwates.
Cilung lalu mewariskan desa Randuwates pada anak turun dan generasi selanjutnya. Untuk menghormati, menghargai dan mengenang jasa Cilung sebagai leluhur Randuwates, sering diadakan ritual di sumur peninggalannya. Hal ini juga bertujuan untuk mengingatkan para peziarah akan sosok pembuka hutan atau pendiri desa Randuwates dulu.

Dusun Balongjati


Pada zaman dahulu kala hiduplah dua orang wanita yang memiliki peran penting dalam mendirikan suatu daerah. Mereka adalah Sartinah dan Manggar. Sartinah merupakan sosok wanita yang berparas cantik dan baik hati pendiri Jatisari, sedangkan Manggar yang terkenal akan sosoknya yang jahat adalah pendiri Balonglengis. Sesungguhnya sewaktu kecil mereka adalah sahabat yang sangat dekat dan akrab. Namun ketika mereka beranjak dewasa persahabatan mereka mulai memudar siring dengan pembagian wilayah kekuasaan yang mereka terima.
Kedua wanita tersebut pada mulanya secara bersama-sama membuka dan membabat hutan jati yang akan mereka jadikan tempat tinggal, mereka lalu membagi hutan jati tersebut menjadi dua wilayah. Setelah melakukan pembagian, mereka kemudian membuat sumur di masing-masing daerah yang telah dibagi tersebut sebagai sumber kehidupan masyarakat sekitar nantinya.
Dikarenakan memang sifat Manggar yang jahat, dia berniat menguasai seluruh wilayah yang telah mereka buka termasuk wilayah bagian Sartinah. Sartinah yang memang baik hati tidak menginginkan terjadinya perpecahan dengan sahabatnya sendiri. Mereka memutuskan untuk hidup dengan cara mereka sendiri dan bersepakat untuk tidak saling bertemu satu sama lain. Sehingga untuk menyiasati hal tersebut dengan segala ilmu yang dimilikinya Sartinah membuat baringan sebagai batas antara wilayah Jatisari yang dimiliki oleh Sartinah dan Balonglengis yang dimiliki oleh Manggar.
Beberapa abad kemudian, lahirlah seorang sosok pemimpin besar yang tampan, berwibawa dan bijaksana dari Randurejo. Pemimpin tersebut bernama R.M. Kertoaji. Ia adalah seorang pemimpin yang sangat disegani rakyatnya, sehingga tidak ada seorangpun yang berani membantah perintah sang pemimpin ini. R.M. Kertoaji sendiri menginginkan perdamaian kedua wilayah tersebut, sehingga barongan lebat yang menjadi penghalang dan batas wilyah antara Jatisari dan Balonglengis ditebang dan dibabat habis. Kemudian dijadikan satu wilayah yang diberi nama “Balongjati”.

Dusun Jati Babah


Tersebutlah ada seorang pengembara sakti mandra guna yang sedang melakukan perjalanan untuk mencari jati dirinya. Dia bernama Singo Glodok. Singo sendiri dalam bahasa Indonesia berarti Singa sedangkan Glodok adalah petir. Petir merupakan senjata pamungkasnya sedangkan bagai    Bima dengan Gada Rujak Polonya.
Dengan kesaktian yang di milikinya, dia mampu berpindah dari suatu tempat ketempat lainnya dengan sangat mudah dan cepat. Oleh karena itu, dia memilih untuk hidup berpindah-pindah selain untuk mencari jati   dirinya juga untuk memahami arti dari kehidupan.
Suatu ketika, Singo singgah disebuah hutan yang dipenuhi oleh pohon jati. Ditengah perjalanan dia menjumpai seorang wanita yang yang cantik akan parasnya dan dengan seketika membuat Singo Glodok jatuh hati padanya. Wanita tersebut bernama Nyai Dayang. Bagai gayung bersambut, sang Dayang pun juga terkesima akan sosok Singo Glodok ini, sehingga mereka memutuskan untuk hidup bersama.
Dengan kesaktian dan segala ilmu yang dimilikinya mereka mulai menebang satu-persatu pohon jati dihutan tersebut. Hanya dengan waktu yang singkat mereka mampu membuka alas yang dulunya rimbun akan pohon jati menjadi tempat yang layak untuk ditempati. Dari sinilah asal mula nama Jati Babah diambil untuk kemudian dijadikan nama sebuah dusun disuatu daerah di kecamatan Kemlagi kabupaten Mojokerto. Jati berarti pohon jati, sedangkan Babah adalah babat atau membabat.
Suatu ketika terjadi perdebatan yang sengit antara Singo dan Glodok dengan sang istri. Entah apa yang diperdebatkan, perdebatan tersebut kian lama kian memanas yang mengharuskan kedua pasangan ini untuk berpisah. Singo Glodok dengan berat hati dan persaan sedih akhirnya memutuskan untuk meninggalkan istrinya.
Singo pergi untuk bersemedi, mendekat pada Yang Maha Kuasa di gunung Pucangan di daerah Jombang. Dalam semedinya, Singo memohon agar dikuatkan dalam semedinya hingga akhir hayatnya. Sementara itu, sang istri memutuskan untuk melanjutkan kehidupannya di desa yang telah mereka dirikan sebelumnya.
Desa Mojowatesrejo

Didalam desa Mojowatesrejo sendiri terdapat empat dusun, yaitu dusun Randu Rejo, Randu Wates, Balongjati, Jatibabah. Keempat dusun tersebut memiliki sejarah yang berbeda-beda yang pada awalnya terpisah dan juga memiliki leluhur masing-masing yang berperan penting dalam terbentuknya keempat dusun tersebut.
Hasil dari musyawarah tersebut adalah mereka bersepakat untuk menyatukan keempat desa tersebut menjadi satu desa yang lalu mereka beri nama desa Mojowatesrejo. Kata Mojowatesrejo sendiri berasal dari tiga gabungan kata bahasa jawa kata Mojo berarti buah Mojo. Wates adalah perbatasan sedangkan Rejo memiliki arti ramai.
Alasan mereka menamai desa tersebut dengan nama mojowatesrejo dikarenakan keempat dusun yang sudah dipersatukan menjadi satu desa tersebut merupakan perabatasan antara Mojokerto dengan Jombang. Desa Mojowatesrejo sendiri pertama kali dipimpin oleh R.M Kertoaji yang awalnya merupakan Lurah desa Randurejo. Pada akhirnya desa mojowatesrejo memiliki masyarakat yang hidup rukun, damai dan sejahtera hingga sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar